PLURALISME : MUSEUMKAN SAJA?
Saya pernah menuliskan sebuah sudut pandang, bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan.
Perbedaan adalah sesuatu yang bersifat menetap dan bahkan abadi.
Artinya, selalu ada keberagaman yang akan dijumpai di seluruh pelosok dunia.
Perbedaan adalah sebuah hal yang mewarnai dunia.
Contoh sederhana adalah saat kita duduk terdiam memandang betapa uniknya anak-anak anugerah Tuhan yang unik dan beragam.
Menakjubkan bahwa produk yang ditenun secara dahsyat dan ajaib dalam satu rahim tidaklah menghasilkan output yang sama persis.
Meskipun berbeda, keberagaman itu membuat hidup kita sebagai orang tua menjadi semarak dan sarat makna.
Perbedaan pun sudah menjadi sesuatu yang bersifat mengurat nadi dalam sebuah negara yang saya diami.
Sebuah bangsa yang memiliki segudang kekayaan alam berlimpah, dengan kebudayaan yang membuat jutaan mata memandang kagum tak berkedip.
Keindahan alamnya membius dunia luar, menegaskan kesempurnaan ciptaan-Nya.
Negeri itu bernama Indonesia, yang saya puja sepanjang masa.
No doubt, saya mencintai negeri ini.
Meskipun saya bangga sebagai orang Indonesia, namun saya belum bangga melihat kenyataan bahwa pluralisme belum mendapatkan tempat yang layak di tanah tumpah darah tercinta.
Terus terang, saya sedih membaca sebuah realita tentang penghinaan orang dari satu suku tertentu kepada satu suku lainnya.
Banyak pernyataan yang rasis dan memecah belah kesatuan negara ini.
Sebuah platform bernama Medium.com mengupas sisi kelam dari cerita seorang anak bangsa yang terlahir sebagai kaum minoritas..
Satu tulisan yang saya baca dari platform tersebut adalah tentang seorang keturunan Tionghoa yang diejek habis-habisan karena pelafalan namanya.
Oleh gurunya yang berbeda suku, nama itu dipelesetkan menjadi "Liang Kotoran Manusia".
Parahnya lagi, anak tersebut menerima penghinaan dari sosok guru Pendidikan Moral Pancasila, yang seharusnya menjadi panutan dan simbol keteladanan bagi murid-muridnya.
(Kisah selengkapnya dapat dibaca di https://medium.com/plural-is-me/nama-b211abbca153 )
Penulis kisah tersebut mengungkapkan bahwa dengan banyaknya olokan yang diterima, ia menjadi marah dengan namanya. Ia menjadi jengkel dengan orang tuanya yang terlahir dari suku tertentu dan memberikan nama tertentu yang mengundang cemoohan.
Hingga pada satu masa, ia nyaris selangkah lebih dekat menggenggam surat ganti nama (SBKRI).
Namun sebuah momentum menyadarkannya, bahwa nama Tionghoa tidak ada kaitannya dengan kontribusi maupun sumbangsih berharga sebagai salah satu suku di Nusantara.
"Jika ada yang bertanya siapakah nama Indonesiaku, tolong jelaskan seperti apakah nama Indonesia itu?
Joko? Itu nama Jawa.
Fuad? Itu nama Arab.
Made? Itu nama Bali.
Jika Jawa, Arab, dan Bali diakui sebagai suku yang berharga di Indonesia, bolehkah suku Cina mendapatkan perlakuan serupa?"
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sesungguhnya asal keluarga dan suku adalah hal yang bersifat permanen.
Kita tidak bisa memilih dari mana kita berasal.
Yang saya amini adalah, siapa pun kita, dan dari mana pun kita berasal,
kita diciptakan dengan dahsyat dan ajaib.
Sayangnya, prasangka dan aneka pernyataan yang bersifat rasis kerap menghujam tubuh bumi pertiwi.
Banyak cemoohan melayang kepada anak dengan suku tertentu karena namanya yang terdengar aneh.
Contoh paling kongkrit adalah stereotype negatif yang ditujukan kepada keturunan Cina.
Mulaidari tingkat rendah seperti ungkapan "Ci-Ken" alias "Cina Kenthir", sampai ucapan yang memerahkan telinga, karena mengidentikkan suku Cina dengan kotoran ayam.
Aneka sentimen dan prasangka negatif masih memenuhi negeri ini,
bahkan mulai menyusup ke pikiran murni kanak-kanak Indonesia.
Saya tidak akan berkomentar lebih lanjut mengenai hal ini.
Namun satu hal yang saya yakini, bahwa mengutuk tidak akan mengubah keadaan.
Alih-alih mengutuk, alangkah lebih baik kita mengubah dunia kecil kita dengan menuliskan hal-hal positif.
Pluralisme adalah sebuah tiang tak terlihat yang mengokohkan atribut bangsa ini.
Mengapa keberagaman tidak mendapatkan tempat yang semestinya di negeri gemah ripah loh jinawi ini?
Rangkullah perbedaan.
Terimalah keberagaman.
Peluklah dan rawatlah.
Apakah kau rela pluralisme dimuseumkan saja, bahkan gema indahnya hilang ditelan kebencian yang membabi-buta?
Semarang, 26 Oktober 2017.
Komentar
Posting Komentar