MEMAHAMI PENERAPAN “ I VS YOU STATEMENT” DALAM RELASI KELUARGA









“Lihat, mainan selalu berantakan. Kamu memang tidak pernah mau mendengarkan perintah Mama. Cepat bereskan sekarang juga!”

“ Kamu selalu saja pulang malam. Masih merasa punya istri atau tidak?”

“Istri macam apa kamu? Masa sampai bisa lupa mengecek persediaan bumbu dapur?”

Apakah Emak terasa familiar dengan 3 kalimat di atas? Kalimat tersebut mengekspresikan perasaan marah dan kecewa. Bahkan tidak jarang, terjadi adu pendapat dan argumen  saat aneka pernyataan tersebut dilontarkan. Mengapa bisa demikian? Alasannya jelas, karena salah satu pihak akan merasa dipersalahkan dan dihakimi.  Kejadian-kejadian yang mengesalkan tidak jarang akan direspon negatif oleh pihak yang “bersalah”, meskipun seharusnya pihak tersangka ini sadar dan berbesar hati untuk meminta maaf.


Pernyataan yang selalu memakai awalan “Kamu” sebagai subjek yang dipersalahkan ternyata tidak membawa kebaikan. Dalam istilah asing, pernyataan tersebut dikenal sebagai “You Statement”. You statement kerap memunculkan konflik, karena ada pihak yang merasa diadili. Perasaan tidak nyaman ini justru akan menimbulkan mekanisme pertahanan diri yang lebih besar. Akibatnya, komunikasi akan makin terhambat. Alih-alih membangun jembatan, “You statement” ini akan membangun tembok tinggi yang melumpuhkan komunikasi yang sehat.

Lantas, bagaimana caranya agar komunikasi dalam keluarga dapat mengarah ke jalur yang lebih baik? Saatnya Emak mencoba mempraktekkan “I Statement”. I statement memiliki sudut pandang berbeda dengan You Statement. Pernyataan yang memakai sudut pandang “aku” sebagai pelaku utama ini memiliki beberapa benefit, di antaranya sebagai berikut :
  • ·         MENEKANKAN TANGGUNGJAWAB PRIBADI
Jika pernyataan you statement sarat dengan asumsi, I statement justru mengajarkan agar Emak mengenali emosi diri yang dirasakan saat berkomunikasi dengan lawan bicara. Bahkan metode I statement dapat menggiring lawan bicara secara tidak sadar untuk mengenali perasaan yang dirasakan Emak.

Bandingkan saat ada pernyataan “Kamu memang tidak pernah mendengarkan Mama!” dengan kalimat “Mama merasa sedih karena kamu melupakan pesan Mama untuk merapikan mainanmu.” 

Kira-kira kalimat mana yang akan lebih diterima dengan kebesaran hati, Mak? Pasti Emak tahu jawabannya, ya.
  • ·         BERFOKUS PADA PERASAAN, BUKAN PADA TINDAKAN
Dengan memaparkan perasaan yang ada di dalam hati, si pendengar akan merasa tidak terancam. Alih-alih menjabarkan segala tindakan mereka yang menyakitkan hati Emak, giringlah mereka untuk mengenali perasaan yang terjadi akibat konsekuensi dari tindakan tersebut. Ketika seseorang tidak merasa dituduh secara berlebihan, mereka akan lebih berbesar hati dalam melihat sisi negatif dari tindakan mereka yang merugikan pihak lain.

  • ·         MEMUNGKINKAN PIHAK PENDENGAR UNTUK MENGADAKAN ‘SESI PERBAIKAN’
Setelah Emak mengutarakan isi hati tanpa memakai embel-embel menghakimi, maka pihak mendengar akan merasa lebih ikhlas dalam menerima koreksi. Nyatakan harapan melalui contoh pernyataan sebagai berikut:

“Mama merasa sedih saat Papa pulang terlambat, karena tidak bisa banyak berbincang dengan Papa. Maukah Papa mengabari dulu jika harus bekerja sampai malam hari? Bisakah Papa pulang sebelum jam 7 malam agar kita bisa menikmati waktu bersama anak?”

Kalimat bernada demikian akan lebih memberikan ruang lebih besar dalam berkomunikasi dan menyelesaikan ganjalan yang ada dalam hati, tanpa banyak keributan.

Bagaimana, sudah siap mempraktekkan komunikasi yang lebih sehat? Selamat mencoba, Mak!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGUAK KISAH KASIH ABADI LEWAT NOVEL "CAHAYA DI PENJURU HATI"

RESENSI BUKU "TOTTO-CHAN'S CHILDREN"