MOTHER IN LOVE
“Siapa wanita yang paling beruntung di dunia ini?”
“Hawa, dong!”
“Kok bisa Hawa yang paling beruntung?”
“Karena Hawa tidak memiliki mertua!”
Dialog ini memancing tawa para wanita yang telah
berstatus sebagai istri. Tentu saja aku termasuk salah satu dari mereka yang
tertawa dengan lelucon ini. Kalau dipikir-pikir benar juga. Hawa beruntung
karena ia tidak pernah merasakan konflik khas ala mertua dan menantu. Jadi,
apakah aku juga setuju bahwa lebih baik tidak memiliki mertua alih-alih mengenakan
status tambahan sebagai seorang menantu? Mau tahu jawabanku, atau mau tahu
banget?
Aku bersyukur memiliki ibu mertua yang luar biasa.
Beliau tipe pendobrak, dan memiliki keyakinan yang sulit digoyahkan oleh pihak
lain. Aku merasa kagum sekaligus terintimidasi melihat betapa kuat dominasi
beliau di berbagai bidang.
Kejutan pertama datang saat Beliau berkunjung ke
rumahku. Aku dan suami tinggal di luar kota setelah menikah, dan kunjungan
mertua menjadi momen yang mendebarkan. Reputasi mertuaku sebagai perempuan yang
jago memasak membuatku tidak percaya diri saat beliau melakukan inspeksi di
area dapurku. Matanya mengawasi aneka bumbu dapur, dan terpaku pada satu bahan
yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya : sekantung gula pasir putih bening
laksana kristal.
“Kamu kog pakai gula ini?”tanya Mama mertuaku
“Iya, Ma. Dari dulu sudah pakai gula pasir putih.
Ada apa, Ma?”tanyaku dengan kegugupan yang susah disamarkan dari nada suaraku
“Bagus pakai gula cair, dong! Lebih higienis dan sehat. Mama sudah belikan
kamu gula batu. Berarti belum kamu cairkan ya?” Urainya penuh selidik.
Glek! Aku merasa tertangkap basah melakukan sebuah
kesalahan fatal. Kuakui bahwa aku memiliki gagasan berbeda dengan Mertuaku.
Mencairkan gula batu untuk membuat minuman dan kudapan? Kupikir itu bukan ide
bagus.Kegiatan ini seperti membuang waktu, dan jauh dari kata praktis.
Aku menelan ludah, dan berucap “Iya, Ma. Nanti Jenni
cairkan gulanya.”
“Harus dicairkan lho, Yenni. Itu gulanya enak, manis
sekali!”seru Mertuaku dari balik pintu dapur.
Aha! Mertuaku selalu melafalkan huruf “J” menjadi
huruf “Y”. Itu terbawa kebiasaannya berucap dalam bahasa Belanda. Konon
kabarnya para sesepuh didikan Belanda tidak bisa melafalkan huruf “J”
sebagaimana mestinya. Itulah sebabnya, bulan “Januari” diucapkan menjadi
“Yanuari”. Namaku pun tidak luput mengalami perombakan paksa, dari “Jenni”
menjadi “Yenni”.
Ada yang berkata juga bahwa orang-orang didikan jaman Belanda
selalu disiplin, bahkan ada kesan memaksakan kehendak. Hmm, aku terpaksa setuju
dengan pemikiran ini. Mertuaku cukup sering berhasil memaksa orang agar
menuruti kemauannya.
“Pokoknya kamu harus potong wortel menjadi
kotak-kotak kalau bikin sup. Cabe untuk nasi goreng harus dipotong bulat-bulat.
Jangan lupa, kalau mau bikin kroket kentangnya harus dikukus sama kulitnya!”
urai Mertuaku dengan instruksi yang terperinci.
Apakah aku stress? Ya, aku tidak akan bohong. Aku
merasa tertekan jika harus berhadapan dengan aneka peraturan dapur. Aku tidak
pandai memasak, dan nyaliku makin ciut saat prosesi potong-memotong tidak
senada dengan keinginan beliau.
Namun harus kuakui, di balik profilnya yang dominan
tersimpan banyak kegigihan dan keuletan yang membuatku angkat topi. Beliau
memilki banyak cara mengolah aneka makanan lezat dari bahan sisa. Opor ayam
yang tersisa akan dikreasikan ulang sebagai isian pastel tutup. Caranya? Dengan
memanfaatkan sisa dada ayam bumbu opor yang ada. Daging itu disuwir lembut dan
disandingkan dengan aneka bahan lezat lainnya. Jadilah pastel tutup yang
maknyus!
Mertuaku telaten membuatkanku susu kedelai untuk
diminum selama masa kehamilan anak pertamaku. Ketika dokter kandungan
memperkirakan bahwa berat badan bayiku sekitar 2,9 kilogram, Mertuaku langsung
berkata “Pokoknya harus tiga kilo!”
Mengapa harus tiga kilo?
Entahlah..
Mungkin karena
kedua anaknya terlahir dengan bobot lebih dari tiga setengah kilogram.
Ajaibnya, harapan Mertuaku untuk melihat cucu pertamanya berbobot tiga kilo
terkabul. Aku dipaksa makan aneka hidangan lezat buatannya, dan hanya dalam
waktu kurang dari seminggu, putra sulungku lahir dengan bobot tiga kilo lebih.
Keyakinan yang sedikit berbau paksaan ini mulai menyadarkanku bahwa Mertuaku
memiliki sesuatu yang spesial.
Keterbatasan fisik tidak menghalanginya untuk
melakukan apa yang ia mau. Mertuaku mahir menyetir mobil jeep kuno yang besar
dan berat. Bahkan saat ia hamil tua, ia bisa mandiri menyetir mobil tersebut.
Kakinya yang tinggi sebelah membuat Mertuaku susah berjalan.
Gengsi mertuaku
sangat tinggi, dan pantang baginya untuk meminta tolong. Namun keterbatasan itu
bisa ia kalahkan dengan mudah. Pernah suatu kali ia harus membawa satu jerigen
sabun cair yang lumayan berat. Kemudian mertuaku mengambil payung bergagang
melengkung, dan menyematkan jerigen itu pada lengkungannya.Voila! Jerigen dapat
terangkat lebih mudah.
Aku belajar bagaimana untuk tidak mudah menyerah
pada keadaan. Aku belajar arti menjadi pejuang sejati lewat berbagai kejadian
yang kualami bersama Mertuaku.
“Kue ulang tahun suamimu jangan dimasukkan ke kulkas
dulu. Nanti icing hiasnya rusak.”
Kupandangi kue ulang tahun berbentuk piano yang
besar dan megah itu. Betul, jika masuk kulkas bisa-bisa bentuknya rusak.
“Lho tapi kalau nggak masuk kulkas nanti disemuti, Ma.”
Kataku berargumen.
“Kamu jangan mau kalah sama semut,dong! Sana cari
penyangga buat nampan kue ultahnya.
Jangan lupa cari baskom besar. Diisi air
biar semutnya nggak bisa mencapai kue itu!” katanya sambil mempraktekkan ide
gagasannya di hadapanku.
Ah... betapa aku malu dan bersyukur. Aku malu untuk
menyerah sebelum berusaha. Aku sangat bersyukur memiliki mentor yang
mengajarkanku kegigihan dan keteladanan lewat teladan yang ditunjukkan
kepadaku. Dan aku lebih dari beruntung, karena aku memiliki dua sosok pejuang
tangguh yang kusapa dengan sebutan “Mama”.
Mama kandungku dan tentu saja, mama
mertuaku yang kusapa dengan sebutan “Mother in love”. Aku tidak dikandung oleh
beliau, namun demonstrasi cinta yang kuterima begitu berlimpah ruah. Aku begitu
disayangi dan diperhatikan layaknya anak kandung.
Jadi, berbahagialah jika engkau menikah dan memiliki
seorang mertua! Sebab ibu mertua akan mengajarkan pada kita bahwa kisah kasih belum selesai menghampiri hidup
kita. Dengan ikatan sebagai mertua dan menantu, kita akan diproses untuk
memberi sekaligus menerima cinta. Siapa yang tidak senang memiliki dua ibu yang
memberikan keteladanan nyata bagi kita?
Jika engkau menanyakan hal itu
kepadaku, aku tidak akan ragu untuk menjawab “Ya!” Aku membiarkan kasih kembali
menyapaku dengan cara yang indah, lewat kehadiran sosok istimewa dalam hidupku.
Siapa dia? Ibu mertuaku! Ia adalah malaikat tanpa sayap!
*Sebuah memoar yang ditulis untuk keperluan buku Antologi kedua @ Joeragan Artikel.
Komentar
Posting Komentar