Kuperbaharui CIntaku dengan Sepotong Risoles
“Ma,
aku mau dibuatin risoles lagi. Tapi kulitnya jangan terlalu tebal, ya. Oke,
Ma?” Pesan putra sulungku panjang lebar. Aku hanya
mengangguk sambil terkekeh geli. Memang aku bukan jago memasak. Aku lebih suka
makan makanan enak daripada mengusahakan membuat kudapan yang nikmat.
“Ah, rejekimu ya anakku sayang.. Punya mama yang
tidak pandai memasak.” Ujarku dalam hati.
Sejurus kemudian datanglah langkah kaki mendekat.
Aku hafal dengan irama langkahnya yang cepat dan pendek- pendek. Sebuah suara
bariton menggumamkan satu kalimat yang membuatku mendesah sedih.
“Waduh,
kulit risolesnya kog hancur begini? Tampilannya amburadul dan mengecewakan.
Tapi kalau rasanya enak, ya masih lumayan.”
Dengan harap-harap cemas, kulihat risoles berwarna
kuning emas pucat itu berpindah lokasi ke mulut suamiku. Aku memejamkan mata
sejenak, berharap mendapatkan komentar positif. Bak kontestan talent show yang
menunggu masukan dari dewan juri, aku mengatupkan kedua telapak tanganku dengan
penuh asa.
“Rasanya
agak keasinan. Enak, tapi kalau keasinan begini bikin aku cepat mati. Apa kamu
nggak tahu kalau aku punya penyakit darah tinggi?”
Sungguh tidak nyaman mendengar rentetan kalimat itu.
Aku sudah terbiasa mendengar suamiku berkata dengan intonasi suara keras. Sudah
terlalu sering mendengar ucapannya yang kadang terasa menyakitkan. Kata orang
Jawa Tengah, nyelekit. Namun entah
mengapa, aku merasa tidak terima
menerima tuduhan bahwa seolah-olah aku ingin mencelakai suamiku dengan
sengaja.
“Theo,
tidak bisakah sehari saja engkau memilih kata yang lebih ramah kepadaku? Kamu
pikir aku senang melihatmu sakit hipertensi? Kalau tidak suka risoles buatanku
jangan dimakan.” Seruku dengan intonasi yang mulai
tinggi.
Kutatap sepuluh risoles buatanku dengan hati
masygul. Kesedihan menyeruak di relung hatiku. Rasa pilu bercampur dengan aroma
kejengkelan yang menggelegak memenuhi pikiranku. Betapa aku tidak menyukai
risoles!
Ya, aku memiliki kenangan buruk dengan risoles, bahkan jauh sebelum
aku menikah dengan suamiku. Cemilan nikmat ini seperti membuka luka lamaku.
Menyodorkan kenangan pahit tentang seorang gadis yang pandai membuat risoles.
Dan yang paling menyedihkan adalah, gadis ini senantiasa mengisi ruang khusus
di hati suamiku. Sosok wanita yang masih diimpikan olehnya, bahkan setelah ia
memutuskan untuk melamarku. Langsung terbayang olehku sosok gadis berkulit
putih , bertubuh semampai, dan memiliki dagu yang runcing. Audrey namanya.
***
Bagaimana aku bisa mengetahui isi hati suamiku? Si
kholeris ini memang selalu mengungkapkan isi hatinya dengan gamblang kepadaku.
Ia berprinsip bahwa kejujuran harus diungkap agar hati menjadi lega. Walaupun
akan ada hati yang tersakiti, kejujuran lebih baik daripada menyimpan dusta serta kepura-puraan.
Saat masa pacaran dulu, suamiku sering membawaku
berputar-putar mengelilingi kota dengan mobilnya. Uniknya, ia selalu
“menyematkan” rute rumah Audrey sebagai
jalan yang wajb untuk dilaluinya. Saat mendekati rumah gadis tersebut, suamiku
akan mencondongkan tubuhnya ke samping, untuk melihat apakah Audrey ada di
rumah atau tidak. Kemudian, suamiku akan bernostalgia mengenang betapa Audrey
mahir membuat risoles, tentang kegemaran Audrey mendengarkan musik jazz (yang
menurut analisis suamiku karena tertular dirinya), sampai tentang kecintaan
Audrey pada anjing toy poodle. Aku
mendengarkan semua uraian cerita tersebut dengan aneka emosi yang berdatangan
silih berganti.
Aku marah? Tentu saja! Aku merasa bayangan Audrey
akan selalu menghantui kehidupan kekasih hatiku. Perasaan tidak nyaman ini
bertransformasi menjadi kejengkelan yang kulampiaskan dengan teriakan pada
suamiku.
“Kalau
kamu masih selalu memikirkan Audrey, untuk apa kamu melamarku? Aku tidak mau
selalu hidup dalam bayangan wanita lain!” teriakku putus
asa.
“Yang
memiliki keinginan melamarmu adalah mamaku. Bukan aku. Jujur aku masih
menimbang apakah Audrey atau kamu yang akan mendampingi hidupku!”
timpal Theo berang. Yang mengherankan adalah, Theo tetap memilihku untuk
digandeng ke altar, mengikat janji setia sebagai suami istri, hingga maut
memisahkan. Sudah tujuh tahun berlalu, namun aku masih belum sanggup melupakan
ucapan Theo tentang keputusannya menimbang apakah harus denganku atau Audrey.
Aku memutuskan untuk mengutarakan isi hatiku kepada
mama. Aku yakin beliau mampu menjadi pendengar yang baik sekaligus objektif.
Pemikiranku terbukti benar, karena mama tetap pada koridornya sebagai orang di
luar perkawinan kami. Mama mengajak Theo bercakap-cakap dari hati ke hati.
Kemudian mama membagikan hasil percakapannya dengan Theo kepadaku.
“Theo
bilang pada mama kalau dulu memang ada kebimbangan, apakah kamu atau Audrey.
Tapi Theo memilihmu karena ia merasa tidak punya pilihan lain.”
“Apa?
Tidak ada pilihan lain? Seolah-olah ia menikahiku karena terpaksa!” seruku
merana dengan suara putus asa.
“Tadinya
mama juga merasa kaget dan marah dengan ucapan Theo. Tapi kemudian Theo berkata
bahwa ia memilihmu karena ia merasa bisa menjadi pribadi yang apa adanya. Ia
bisa berucap bebas tanpa beban. Bisa mengutarakan segala isi hatinya dengan
lepas, dan Theo tahu bahwa engkau istri yang lurus dan baik hati.
Audrey
adalah masa lalu, dan biarlah Theo menunjukkan peranannya sebagai kepala
keluarga yang baik untukmu dan anak-anak..” Tutur mamaku
sambil mengelus rambutku perlahan.
Air mata meleleh menghangatkan kedua pipiku. Hatiku
lega karena aku mengetahui dengan jelas segala pemikiran Theo hari itu. Aku
tidak bisa memutuskan apakah aku senang atau bersedih mendengar kejujuran Theo.
Yang aku tahu, ada perasaan ikhlas dan lega yang memeluk diriku dengan erat.
Aku pernah membaca firman bahwa “Barangsiapa takut,
ia tidak sempurna dalam kasih”. Dahulu aku hanya menerima firman ini dengan
asumsi dangkal,bahwasanya ketakutan untuk mencintai adalah bukti kelemahan
cinta yang kumiliki. Seiring berjalannya waktu, aku mendapat perspektif
berbeda.
Ketakutan memang menjadi penghalang terbesar untuk
mewujudkan kasih yang sempurna. Ketakutan untuk merampingkan ego kita.
Ketakutan untuk disakiti. Ketakutan untuk kehilangan kebanggaan atas fisik maupun
karir yang harus dilepas saat harus berhadapan dengan kepentingan anak.
Kasih sempurna adalah kasih agape. Sebuah kasih yang
didefinisikan secara singkat sebagai kasih tidak terbatas dan tanpa syarat.
Kasih yang tetap menyatakan cintanya WALAUPUN harus merendahkan ego. Kasih yang
tetap menggemakan pengampunan dengan anggun MESKIPUN telah disakiti. Kasih yang
memutuskan untuk setia BIARPUN ada banyak alasan untuk berpaling mencari
kenikmatan dari pihak lain.
Theo telah menunjukkan tanggungjawab dan kasihnya
kepadaku dan keluarga dengan caranya sendiri, dengan bahasa kasihnya yang unik.
Ia memiliki keahlian tersendiri untuk mendemonstrasikan kasihnya kepada
anak-anak dan istrinya. Ketenangannya dalam menghadapi aneka masalah membuatku
percaya bahwa ia mampu menyelesaikan banyak hal. Theo mengajarkan padaku untuk
mempercayai kemampuan yang dimiliki oleh kedua putraku. Ia kepala keluarga
terbaik untukku dan anak-anak.
Kemudian, aku mendengar hati kecilku berbisik,
“Kurasa, aku tidak mendambakan pangeran berkuda
putih untuk menemaniku sepanjang hayat. Aku lebih menyukai pria bertangan
dingin yang selalu mengatakan kejujuran kepadaku.”
Aku menatap Theo yang tertidur pulas, mengamati
alisnya yang tebal. Kemudian kulihat putra sulungku tertidur sambil berpelukan
erat dengan papanya. Si bungsu yang masih berumur satu tahun bergelung nyaman
dalam selimut hangatnya, menungguku untuk merebahkan diri di samping tubuhnya.
Sungguh dunia kecil yang menakjubkan! Membuatku bersyukur dan kembali jatuh
cinta, dan betapa ingin aku tetap jatuh dalam cinta yang mendalam pada suami
dan anak-anak.
Oh, bagaimana dengan risoles? Aku akan membuatmu menjadi kudapan
favorit suami dan anak-anakku. Akan kubuat semua risoles dengan bumbu cinta
100%. Aku akan menyandangkan risoles dengan kasih agape, untuk menyempurnakan
cinta sejati kepada suamiku.
Komentar
Posting Komentar