TAHUN BARU: SEBUAH KADO INDAH DARI-NYA

Sejujurnya,
Hari terakhir di tahun ini sungguh-sungguh berjalan di luar perkiraan kami.
Suami dan saya berpikir bahwa ada sebuah waktu bagi kami untuk merasakan atmosfer pergantian tahun di kota lain.
Ya, suasana baru yang seolah berada dekat dalam jangkauan harus dilepaskan dan direlakan.

Anak-anak yang sakit bergantian membuat kami harus tetap berada di Semarang, dan melupakan sejenak rencana untuk pergi ke Surabaya atau ke Magelang.
Bahkan saya tidak bisa mengikuti Kebaktian Akhir Tahun yang diadakan di gereja, karena si bungsu masih up and down dengan demam yang menyapanya 3 hari belakangan ini.
Bukannya mengajak Tuhan bercakap-cakap dalam sebuah kebaktian yang khusyuk, saya malah berkonsultasi dengan dokter spesialis anak untuk menanyakan hasil lab Jonathan.

Hasil lab telah dibaca oleh sang dokter, dan terdapat diagnosis bahwa Jonathan kemungkinan terkena gejala DBD.
Trombosit yang berada dalam kisaran range normal rendah memang menjadi perhatian utama bagi kami.
Hm, baru kali ini saya melewatkan pergantian tahun dengan aktivitas momong anak karena sakit.
Tentunya sambil dheg-dhegan berharap agar hasil DBD negatif, karena dokter menyarankan kami untuk tes ulang darah rutin.

Saya berusaha menghibur hati dengan mendengarkan sebuah rekaman kaset khotbah dari almarhum seorang pendeta.
Meskipun kaset ini direkam sekian tahun lalu, namun isi khotbahnya masih relevan untuk menjadi perenungan pribadi.
Dari awal hingga akhir khotbah, saya tidak bisa berhenti mengucap syukur atas kesempatan mendengarkan teguran pribadi-Nya yang dialamatkan untuk saya.


Entah mengapa, semua konten khotbah yang dibicarakan seolah ditujukan khusus kepada saya.
Begitu spesifik dan memberkati. Tidak hanya menegur, namun menguatkan dan mengokohkan.
Bahkan saya dapat menggambarkan perasaan tersebut dengan ilustrasi yang tidak biasa.

Anggaplah, seorang bapak ( yes betul, BAPAK!) sedang mempersiapkan bekal selama setahun penuh untuk putri tercintanya yang hendak pergi jauh.
Bekal itu didesain sedemikian rupa agar sang anak dapat memakannya perlahan-lahan,
sehari demi sehari; dan mengunyahnya dengan porsi yang pas.
Jika boleh berbagi sedikit kisah, inilah isi bekal dari Bapa Surgawi untuk saya:

  • BEKAL MENJADI MANUSIA DEWASA DI TAHUN BARU

Dewasa berarti cukup berani untuk berkata "selamat tinggal". 
Ya, harus diakui bahwa mengucapkan selamat tinggal kepada segala hal yang menghambat pertumbuhan diri tidaklah selalu menyenangkan.
Siapa yang  bersedia dengan sukarela melucuti segala keegoisan diri untuk menyenangkan hati seseorang?
Namun jika cukup berhikmat untuk mengetahui, dengan siapa kita berhadapan--- kematangan spiritual akan menuntun kita agar belajar TAAT kepada Sang pemilik semesta ini.

Doyan marah dan mudah tersulut, kemudian membela diri dengan berkata, "Ini sudah watakku, piye maneh?"
Pembelaaan semacam itu menunjukkan bahwa kita tidak cukup berani untuk menjadi dewasa.
Saya mengamini perkataan seorang Paulo Coelho, yang mengatakan bahwa jika kita cukup berani berkata 'selamat tinggal', maka kita akan dipertemukan dengan indahnya sebuah perjumpaan yang baru.

Kita dituntut untuk berubah.
Memang segala yang kita kasihi akan lenyap ( baca: atribut lama, seperti keegoisan dan kebanggaan diri yang terlalu tinggi), namun sesuatu yang lebih baik akan didapat.
Syaratnya: menyerahkan diri kepada-Nya untuk dilembutkan dan dibentuk ulang.

  • MELIBATKAN PEMILIK HIDUP KITA DALAM SEGALA RENCANA
Nah, biasanya kita paling semangat 45 membicarakan resolusi tahun baru.
Saya pun sudah memiliki segudang rencana untuk mewujudkan aneka mimpi, khususnya di bidang kepenulisan di tahun 2018.
Tidak ada salahnya membuat aneka ide dan angan-angan mengeksekusi sejumlah gagasan dengan gemilang; namun ingatlah selalu untuk meminta agar kehendak-Nya yang jadi.

Sebuah bagian doa yang tersulit bukanlah terletak pada rangkaian harapan yang dipanjatkan, melainkan pada kepasrahan bahwa rencana-Nya mutlak berdaulat atas kita.
Dengan segala kemahatahuan yang Ia miliki, marilah mempercayakan diri pada tuntunan-Nya yang sempurna.

  •  BUKAN BAGAIMANA KITA MENGAWALI, NAMUN BAGAIMANA KITA MENGAKHIRINYA
"Starting strong is good. Finishing strong is epic."
   (Robin Sharma)

Bagi rekan-rekan Kristiani, pernahkah membaca tentang perkataan terakhir Yakub terhadap kedua belas anaknya?
Yakub memberikan berkat kesulungan bukanlah pada Ruben sang anak sulung, melainkan pada Yehuda, sang anak keempat.
Apa istimewanya Yehuda sehingga ia terpilih menjadi suku yang kelak memperanakkan Mesias?

Sang pengkhotbah mencatat bahwa ada sikap-sikap luhur yang dimiliki oleh seorang Yehuda.
Meskipun ia suka tidur dengan perempuan sundal, Yehuda memiliki wibawa dan keberanian untuk berkorban.
Saat Benyamin ditahan oleh Yusuf di Mesir, Yehuda memohon kepada Yusuf agar ia dapat ditahan dan dijadikan budak sebagai ganti Benyamin.
Alasannya? Karena Yehuda sudah berjanji kepada ayahnya agar si bungsu pulang dengan selamat.

Alih-alih mengorbankan orang lain, ia mau mengorbankan diri sendiri.
Rupanya, sikap inilah yang membuat sang ayah jatuh hati kepada anak yang semula tidak masuk hitungan ini,
sehingga Yehuda diberikan hak istimewa untuk menjadi jalan pembuka kelahiran Juru selamat dunia.

Dengan belajar menyelesaikan segala hal dengan penuh tanggungjawab dan keberanian, Ia yang menguasai jagad raya ini akan bersukacita dengan hasil pekerjaan kita.
Saat memiliki sikap mental "finish strong",  yakinlah bahwa tahun baru adalah sebuah kado yang sarat dengan kesempatan setiap hari.
Dan tahun baru pun bukan menjadi sebuah tahun yang biasa-biasa saja, melainkan  menjadi sebuah periode yang sarat dengan anugerah.

Selamat menyongsong Tahun Baru 2018. Imanuel!




Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGUAK KISAH KASIH ABADI LEWAT NOVEL "CAHAYA DI PENJURU HATI"

MEMAHAMI PENERAPAN “ I VS YOU STATEMENT” DALAM RELASI KELUARGA

RESENSI BUKU "TOTTO-CHAN'S CHILDREN"