SEBUAH PANGGUNG UNTUK KULINER BETAWI: SEBUAH ASA DAN KASIH TAK SAMPAI DARI BONDAN WINARNO
Kasih tak sampai. Ungkapan ini bukanlah hanya mengacu kepada kasih yang tidak terbalas. Kasih tak sampai bisa dimaknai sebagai sesuatu yang tidak mendapatkan restu; atau sesuatu yang masih mengundang rasa penasaran.
Mungkin perasaan inilah yang berkecamuk dalam diri seorang Bondan Winarno. Nurani pakar sekaligus kritikus makanan ternama ini terusik. Sebagai seorang pemerhati kuliner Nusantara, sudah lama Bondan merasa miris melihat nasib aneka ragam makanan Betawi yang makin terpinggirkan. .
Tidak hanya terpinggirkan, makanan asli tanah kelahiran Si Pitung ini telah tergerus dan terdesak keberadaannya oleh masakan daerah lain---bahkan kalah bersaing dengan masakan Barat.
Sebuah artikel dari CNN Indonesia bulan Juni 2017 berjudul Gorengan Kambing, Kuliner Langka Betawi yang Tak Lagi Renyah makin mengukuhkan realita, bahwa kuliner Betawi seolah telah makin mundur teratur dan nyaris menyentuh bendera putih. Oleh karena itulah, pria yang terkenal dengan jargon populer "Maknyuss" ini memutuskan untuk menghadap gubernur DKI Jakarta.
Di depan gubernur tersebut, Bondan mengungkapkan kekecewaannya terhadap salah seorang wali kota eks None Jakarte yang belum berhasil menjadi pelindung budaya Betawi. Tanpa banyak basa-basi, beliau menyatakan sebuah statement bahwa ada pembodohan yang telah ditelan oleh banyak masyarakat Indonesia.
"Dengan tegas saya kemukakan kepada Ahok bahwa selain nasi uduk bukanlah kuliner asli Betawi, semua masakan Betawi sudah terpinggirkan.
Di Kawasan Jakarta Pusat tidak ada rumah makan yang pantas untuk makan gabus puncung atau sayur besan. Padahal, di seberang Balai Kota ada rumah makan khas Rembang yang sering disatroni Purnawirawan Jenderal."
(#KamiAhok, halaman 45)
Sang gubernur terpaku dan mengernyitkan dahi. Kemudian meluncurlah sebuah pertanyaan, apakah Bondan memiliki sebuah usulan? Rupanya sang maestro kuliner telah siap mempresentasikan segudang harapannya dengan matang.
Ia tidak ingin membangun sebuah candi. Ia hanya menginginkan sebuah panggung untuk kuliner Betawi. Panggung tersebut haruslah didukung oleh Pemda karena para stakeholders kuliner Betawi semuanya adalah pengusaha gurem.
Lewat sebuah buku yang berjudul #KamiAhok, Bondan menuangkan segala idealismenya tentang penyelamatan kuliner Betawi yang kian meredup. Mulai dari mengusulkan agar Pemda mengambil alih beberapa properti yang potensial untuk didandani sebagai panggung kuliner Betawi. Sederetan lokasi telah diincar dengan matang. Jalan Cikini dan Jalan Veteran menjadi pelabuhan yang digadang-gadang bisa menghidupkan kuliner Betawi tersebut.
Bahkan Bondan telah berangan-angan, jika Pemda berhasil menguasai salah satu tempat strategis tersebut, bisa jadi proyek mendandani kuliner Betawi akan segera terwujud.
Tempat tersebut dipugar dan diperuntukkan bagi restaurant row khusus kuliner Betawi yang dkurasi. Dengan demikian, kemungkinan kehadiran panggung ini dapat mengibarkan kembali kejayaan kuliner Betawi yang pudar.
Sayang seribu sayang.
Wacana tersebut masih menjadi angan-angan yang bergoyang lembut, diterpa angin ketidakpastian.
Dengan getir Bondan menuliskan,
"Mungkin saja usulan saya terlalu remeh-temeh dan bukan solusi untuk memajukan Jakarta.
Mungkin kuliner Betawi memang sudah saatnya kita ikhlaskan saja, untuk terpinggirkan dan kemudian mati pelan-pelan."
(#KamiAhok, halaman 46)
Hingga hari penjemputannya tiba, keprihatinan ini masih belum dituntaskan. Bukankah hal tersebut adalah sebuah perwujudan dari kasih tak sampai milik Bondan Winarno? Cinta matinya terhadap masakan Nusantara memang telah berhasil membuat banyak orang kembali memandang kecantikan hidangan tradisional, meskipun belum sepenuhnya tercapai.
Pria yang mampu melecutkan kembali kecintaan generasi milenial terhadap kuliner daerah ini belum bisa melihat impiannya menjadi sebuah kenyataan.
Akankah harapan itu terjawab suatu hari nanti?
Entahlah. Semoga saja masa itu akan tiba.
Sambil mengenang kepergian jurnalis kampiun tersebut, marilah kita memandang keelokan sepiring gabus pucung dan sayur besan favorit pria yang berpulang di usia 67 tahun itu.
Tidakkah hidangan ini menerbitkan air liur kita?
Apakah makanan ini mampu menggugah rasa kebanggaan dan kecintaan kita terhadap kuliner Nusantara?
Salam maknyuss!
Komentar
Posting Komentar