PADA DETIK TERAKHIR: SEBUAH RASA, SIKAP BATIN, DAN KIDUNG PERGULATAN HIDUP



Judul Buku                       : Pada Detik Terakhir: Antologi Cerpen Duet
Penulis                             : Tengsoe Tjahjono, Siwi Dwi Saputro, dkk
Penerbit                            : Bajawa Press
Cetakan Pertama              : 2017
Ketebalan Halaman         : 448 halaman
No ISBN                          : 978-602-7576-95-7




Benarkah tidak ada kebetulan dalam hidup?
Meskipun banyak keyakinan yang mengatakan bahwa "tidak ada yang kebetulan", namun serangkaian peristiwa yang datang membentuk kehidupan.
Aneka peristiwa tersebut sering muncul "pada detik terakhir" yang seolah-olah menyapa secara kebetulan.

Berbicara tentang "detik terakhir", kita tidak hanya melulu berpikir tentang napas kehidupan yang akan berakhir, atau saat di mana kita akan berpisah maupun meninggalkan dunia.
Momen detik terakhir juga berbicara tentang waktu di mana kita mengambil keputusan akhir untuk menerima, memutuskan, atau menjalankan sesuatu dengan sepenuh hati.
Pendek kata, detik terakhir bukan hanya semata-mata tentang waktu yang bergulir linear dalam hidup, melainkan tentang sikap dan disposisi batin.
 

Komunitas Penulis Deo Gratias merangkul seluruh elemen rasa dan proses pencarian hidup dalam sebuah buku antologi cerpen duet berjudul "Pada Detik Terakhir".
Cerpen duet menjadi sesuatu yang menarik perhatian, karena ditulis oleh dua penulis secara bergantian.
Penulis yang berkolaborasi dalam cerpen ini harus mampu menghadirkan kekuatan paragraf pertama, karena akan menjadi kunci untuk melaju pada paragraf berikutnya.

Dari 40 cerpen yang tersaji dalam buku ini, pembaca akan diajak untuk mengamati keunikan paragraf pertama setiap cerpen. Rata-rata cerpen dalam antologi "Pada Detik Terakhir" ini mengawali paragraf pertama dengan pendeskripsian karakter,latar, atau peristiwa yang kuat.

Dalam cerpen berjudul "Tujuh Perempuan Cantik Imbanegara", pembaca akan dibawa pada sejarah invasi kerajaan Mataram ke wilayah Ciamis.
Tokoh utama dalam cerita ini terpaksa memberikan para gadis cantik di daerahnya untuk dijadikan upeti tanda kesetiaan pada kesultanan Mataram.
Pada perkembangan cerita, sang tokoh utama yakin untuk terus membela rakyatnya sekuat tenaga dari pasukan Mataram.
"Aku akan terus melawan, karena mereka bukan hanya melecehkan perempuan dan anak gadis kita, tetapi telah merendahkan wibawa kita sebagai pelindung keluarga, pelindung perempuan, dan anak gadis..." (Halaman 25).

Lewat cerpen berjudul "Berguru Pada Ikan", pembaca diajak untuk merenungkan arti sebuah keberanian untuk menentang arus, meskipun harus dibayar mahal. Problema psikologis tokoh utama begitu kentara di awal paragraf pertama:

"Gemercik air sungai terdengar dari teras di samping rumahku. Aku bergegas ke sana. Duduk bersila di pinggir sungai, menatapi ikan-ikan malam yang lincah berkejaran di bawah terang purnama.
'Mengapa hidupmu selalu penuh gairah, bahkan di malam seperti ini?' tanyaku kepada mereka.

Tidak ada satupun yang menjawab. Ikan itu asyik meloncat melawan arus air. Dadaku tiba-tiba bergetar. Tidak harus menjadi lebih besar dahulu untuk berhadapan dengan riak menantang. Hanya butuh keberanian. Ya, keberanianlah yang sedang kucari dan kukumpulkan." (Halaman 63).

Melalui cerpen berjudul "Truntum", pembaca akan dituntun dengan sebuah pemahaman bahwa cinta yang telah pudar layak mendapatkan kesempatan untuk bersemi kembali. Berbekal dengan referensi pembuatan batik truntum, penulis yang berduet berusaha meramu kisah faksi yang mengundang rasa penasaran.

"Seorang perempuan cantik terpekur memusatkan hati kepada Yang Agung. Hatinya tercabik-cabik. Sang Raja, suaminya telah lama mengabaikannya. Dalam semedi dan meditasinya, Permaisuri mendapat wangsit bahwa cinta akan pulang dan kembali ke jalannya." (Halaman 445).

Kekuatan buku ini terletak pada proses pembuatan cerpen duet yang unik. Masing-masing penulis yang berkolaborasi dalam sebuah naskah tidak mengetahui bagaimana akhir cerita kelak. Mereka hanya mengalir sambil menulis. Para penulis harus membangun kerja sama dalam menulis, saling memadukan gaya dan melakukan penyesuaian, serta saling memberi maupun merespon umpan dengan baik.

Dengan pasangan yang berbeda satu dengan lainnya, lahirlah cerita dengan tema beragam. Cerpen duet ini penuh dengan kejutan, dan memperlihatkan kemampuan penulis dalam bersenyawa dengan teknik dan tema pada setiap cerpen.

 Kekurangan minor dari buku ini adalah adanya beberapa pemenggalan kalimat yang kurang pas. Meskipun demikian, Pada Detik Terakhir layak diapresiasi dan memperkaya buah-buah literasi di masa mendatang.









Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGUAK KISAH KASIH ABADI LEWAT NOVEL "CAHAYA DI PENJURU HATI"

MEMAHAMI PENERAPAN “ I VS YOU STATEMENT” DALAM RELASI KELUARGA

RESENSI BUKU "TOTTO-CHAN'S CHILDREN"