RESENSI BUKU "TOTTO-CHAN'S CHILDREN"

Judul Buku                                  : Totto-Chan's Children : A Goodwill Journey to the Children of the World.
Penulis                                        : Tetsuko Kuroyanagi
Penerbit                                      : PT Gramedia Pustaka Utama
Ketebalan Buku                          : 322 Halaman
Cetakan Pertama                        : Tahn 1997

Totto Chan, seorang gadis Jepang yang aktif dan periang itu kini telah bertumbuh dewasa. Kepiawaiannya dalam dunia seni menuntun si gadis kecil tersebut menjadi aktris yang diperhitungkan pada zamannya. Totto Chan menjadi aktris yang berbeda, karena ia tidak pernah melupakan masa kecilnya. Kenangan indah pada masa kanak-kanaknya begitu terpatri indah, sehingga Totto-chan langsung setuju saat didapuk menjadi duta kemanusiaan UNICEF. Perjalanan kemanusiaan pun dimulai, dan buku ini melukiskan kisah-kisah inspiratif yang tidak terbayangkan-- yang membuat hidup penulisnya tidak akan pernah sama lagi.

Dalam kunjungannya ke Tanzania, Tototo-chan melihat bahwa kelaparan adalah malaikat pencabut nyawa yang siap menunaikan tugasnya, dan tanpa ampun mereka mengakhiri kehidupan banyak anak yang sedang bertumbuh.
Anak-anak tidak dapat lagi berpikir atau berbicara. Otak mereka rusak karena kekurangan gizi.Ibu menyusui pun tidak bisa memproduksi ASI karena kemiskinan yang luar biasa, sehingga banyak bayi yang terpaksa mengkonsumsi teh ataupun air putih yang sama sekali tidak bergizi- sejak hari kelahiran mereka.
Bahkan banyak ibu-ibu muda yang tidak lagi bisa mengingat kapan terakhir kalinya mereka memakan makanan yang sehat dan bergizi.

Kemiskinan di Haiti membuat banyak wanita menjadi pelacur, dan survey kesehatan memberikan data bahwa 72% pelacur di Haiti terjangkit HIV. Salah satu pelacur tersebut baru berumur 12 tahun, dan terjadi tanya jawab mencengangkan antara Totto-chan dengan sang pelacur kecil tersebut :

"Apakah kau tidak takut pada AIDS?"

" Aku takut, tapi bahkan jika aku terkena HIV, aku masih dapat bertahan hidup beberapa tahun lagi. Jika AKu tidak bekerja, tidak ada makanan untuk keluargaku besok."

Keping-keping receh si kupu-kupu malam karbitan itu dapat menyelamatkan keluarganya dari kelaparan yang melanda, walaupun harus dibayar dengan hilangnya kehormatan dan kelangsungan hidup yang layak.

Sang penulis menyampaikan satu strong message dalam kunjunganya ke Mozambik, bahwa seorang ibu memiliki hati mulia, tidak peduli seberapa berat penderitaan yang mendera. Ibu tersebut terlihat bingung saat ditanya berapa jumlah anaknya.

 Ia sempat salah berhitung, dan pada tanya jawab berikutnya terbuka satu fakta mulia, bahwa ia mengambil beberapa anak yang menangis karena kehilangan orangtuanya. Sang ibu sendiri telah memiliki lima anak kandung.  Dalam pelariannya sebagai pengungsi perang gerilya, wanita Mozambik ini masih membuka hati untuk mengayomi anak lain yang membutuhkan kasih sayang.
Bahkan ia rela membagi satu potong roti menjadi 10 bagian, masing-masing untuk anak-anak yang diasuhnya.

Fakta mencengangkan lainnya adalah, bahwa anak-anak Afrika tidak pernah melihat hewan gajah dan jerapah. Mereka hanya bisa menggambar lalat dan burung berkaki lemah, karena kekeringan hebat yang melanda negara tersebut.
 Anak-anak Afrika belum pernah terpesona melihat keagungan dua binatang yang mengagumkan itu.
Yang mereka miliki hanyala kekeringan hebat dan harapan hidup yang kecil.
 Sungguh perasaan pembaca akan dibuat teraduk-aduk saat membaca kisah ini. Potongan kisah ini mengajak kita untuk bersyukur atas ketersediaan curah hujan yang melimpah di negeri tercinta ini.

Isu pendidikan menjadi terasa sangat krusial sekaligus mengusik, saat penulis menuturkan kisah mengharukan di Angola. Nyaris tidak ada celah untuk mendapatkan pendidikan layak, bahkan anak-anak terpaksa membawa kursi sendiri ke sekolah. Dengan langkah-langkah kecil yang berat dan tertatih, mereka berjalan demi menggapai sebuah asa : Pendidikan yang layak untuk memutus rantai kemiskinan,

Kondisi memilukan juga akan terbaca dalam kisah visitasi ke Rwanda, Zaire, dan Uganda. Ribuan anak ditugaskan menjadi tentara perang, dan dalam usia semuda itu mereka harus berkelahi dengan waktu, dan diintai oleh maut berupa sengat kematian. Sungguh tidak terbayangkan melihat anak-anak yang seharusnya masih senang bermain harus mengangkat senjata karena peperangan. 

Itulah mengapa ada ungkapan mengerikan yang berkata bahwa "Tidak ada iblis di neraka. Mereka semua berkumpul di negara kami, di Rwanda."

Dan yang tidak kalah mencengankan adalah tentang impian anak-anak Bosnia Hezergovina yang mustahil. Mereka semua bermimpi menjadi anak berumul nol tahun, atau dengan kata lain menjadi bayi kembali dalam rahim ibunda mereka. Perang telah merenggut kebahagiaan mereka, sehingga anak-anak korban perang disana tidak mampu melihat warna-warna indah dunia yang sesungguhnya, Hanya warna hitam, gelap, dan pekat. 

Sungguh mengerikan saat mengetahui bahwa psikologi anak disalahgunakan dalam peperangan. Apa gunanya perang saudara, selain merenggut nyawa calon-calon penerus negara? Betapa penulis membenci perang.

Di akhir buku ini, penulis mengajak pembaca untuk terus mendukung anak-anak di berbagai belahan dunia tersebut lewat dukungan moral dan dana. Yang tidak kalah penting, penulis menekankan satu pesan mulia : Bahwa kita tidak dilahirkan untuk saling membenci, melainkan untuk saling mengasihi.

Ah, kasih memang bahasa universal yang masih harus terus digemakan.
Mari bantu agar gema kasih makin terasa, untuk membuat dunia menjadi sebuah tempat yang lebih baik bagi  para generasi masa depan.  
 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMAHAMI PENERAPAN “ I VS YOU STATEMENT” DALAM RELASI KELUARGA

MENGUAK KISAH KASIH ABADI LEWAT NOVEL "CAHAYA DI PENJURU HATI"